Ketika Sepatu Bot Digantikan Keyboard

Mengapa Ahli Ekologi Perlu Kembali ke Lapangan
biodiversity
nature connection
conservation
ecology
Penulis

Ryan Avriandy

Diterbitkan

Wednesday, March 3, 2027

Ketika Ahli Ekologi Tak Lagi Menyatu dengan Alam

Di pagi hari yang sejuk dan tenang, dulu para mahasiswa dan praktisi ekologi akan bangun bersama matahari, membawa buku catatan untuk melacak jejak hewan, mengoleksi feses satwa liar untuk dianalisis, mendengarkan kicauan burung untuk identifikasi spesies, melakukan pengukuran vegetasi, memasang kamera jebak, serta berinteraksi dengan masyarakat lokal untuk memahami konteks sosial-ekologis dari lanskap yang mereka teliti. Tapi hari ini, semakin banyak mahasiswa dan praktisi ekologi tanpa pernah menghabiskan waktu yang berarti di alam bebas.

Dalam artikel terbaru yang diterbitkan di Trends in Ecology & Evolution, Soga & Gaston () membahas kenyataan mengkhawatirkan dari apa yang mereka sebut sebagai “kepunahan pengalaman” (extinction of experience) di kalangan ahli ekologi sendiri. Istilah extinction of experience awalnya digunakan untuk menggambarkan keterputusan masyarakat umum dari alam, namun kini bahkan mereka yang dilatih untuk memahami dan melindungi alam pun semakin kehilangan kontak langsung dengan lingkungan alami tempat mereka bekerja.

Dari Jejak di Hutan ke Layar Komputer

Pergeseran ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: keterbatasan dana untuk penelitian lapangan, tekanan untuk cepat menerbitkan karya ilmiah, dan munculnya teknologi yang menjanjikan pengumpulan data yang lebih cepat. Kamera jebak, citra satelit, drone, eDNA dll. Semua teknologi baru ini memungkinkan para ahli ekologi untuk mengamati alam dari kejauhan, mengumpulkan data tanpa perlu menjejakkan kaki ke hutan. Tapi justru di sinilah persoalannya muncul: ketika interaksi langsung dengan alam digantikan oleh layar komputer, kita mulai memasuki era baru, di mana pemahaman kita tentang alam menjadi terdistorsi oleh jarak.

Teknologi ini memang efisien, tetapi ada biayanya. Seperti yang dicatat Soga & Gaston (), kerja lapangan bukan hanya soal mengumpulkan data, tapi juga tentang membangkitkan rasa ingin tahu, menginspirasi pertanyaan, dan membangun literasi ekologi. Pengalaman langsung di lapangan adalah tempat asal banyak gagasan ekologi yang hebat. Ketika peneliti tidak lagi menginjak tanah yang mereka pelajari, mereka berisiko kehilangan nuansa, tekstur, dan kompleksitas ekosistem yang hanya bisa diperoleh melalui keterlibatan langsung di alam.

Penurunan kerja lapangan ini bukan hal baru. Studi oleh Ríos-Saldaña et al. () menunjukkan bahwa studi berbasis lapangan dalam ilmu konservasi terus menurun, digantikan oleh pemodelan dan meta-analisis. Meskipun metode ini penting, ketergantungan yang berlebihan dapat mempersempit cakupan pertanyaan dan menjauhkan sains dari realitas keanekaragaman hayati yang sesungguhnya.

Dampak Diam-diam dari Keterputusan

Konsekuensinya lebih dari sekadar keterbatasan ilmiah. Ketika mahasiswa dan praktisi ekologi tidak dilatih di lapangan, mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan keterampilan observasi penting, seperti mengenali jejak hewan, mengidentifikasi spesies tumbuhan, atau menafsirkan perubahan ekosistem yang hanya dapat diamati langsung. Ini penting, bukan hanya untuk penelitian, tapi juga untuk pengelolaan, restorasi, dan kebijakan.

Yang lebih mengkhawatirkan, Soga & Gaston () memperingatkan tentang efek umpan balik: semakin sedikit mahasiswa dan praktisi yang terpapar kerja lapangan, maka semakin sedikit mentor yang terlatih di lapangan, semakin sedikit program yang berinvestasi dalam pendidikan di alam, dan akhirnya semakin sedikit ahli ekologi yang benar-benar mampu memahami konteks sesungguhnya dari tempat mereka bekerja, baik dari segi kompleksitas ekosistem, hingga aspek sosial-ekologis yang bersifat lokal dan kompleks.

Penyebab dan konsekuensi dari menurunnya penelitian dan pendidikan ekologi berbasis kerja lapangan. Sumber: ()

Kepunahan pengalaman bukan hanya tentang hilangnya pengetahuan. Ini tentang hilangnya hubungan dengan lanskap, spesies, dan komunitas. Tanpa hubungan ini, pekerjaan kita berisiko menjadi terlepas dari kenyataan, terlalu teknokratis, dan kurang menggugah bagi masyarakat, karena hasil penelitian yang tidak membumi seringkali gagal menyentuh empati publik, terasa jauh dari kehidupan sehari-hari, dan kehilangan daya inspiratif yang dibutuhkan untuk mendorong perubahan perilaku atau dukungan terhadap konservasi.

Menemukan Kembali Alam Liar

Tapi masih ada harapan. Para penulis tidak menyerukan kembali ke masa lalu yang romantis atau menolak teknologi. Sebaliknya, mereka mendorong keseimbangan baru: mengintegrasikan pembelajaran berbasis lapangan dengan teknologi baru, membayangkan kembali pendidikan ekologi yang canggih secara teknologi sekaligus berakar pada pengalaman nyata di lapang.

Ini sejalan dengan seruan dari ilmuwan lain. Tewksbury et al. () menekankan pentingnya pengetahuan tentang alam dalam pendidikan sains, mencatat bahwa penurunan perhatian terhadapnya membawa dampak nyata terhadap pemahaman dan kepedulian kita terhadap alam. Begitu pula, Miller et al. () menyatakan bahwa kerja lapangan tetap penting dalam ekologi lanskap, karena ia menghubungkan model-model abstrak dengan dunia nyata.

Ada juga dimensi keadilan yang perlu dipertimbangkan. Dengan dukungan yang tepat, kerja lapangan dapat dibuat lebih inklusif bagi perempuan, penyandang disabilitas, dan kelompok yang kurang terwakili. Ketika akses terhadap pengalaman lapangan diperluas, maka bukan hanya keragaman individu yang bertambah, tetapi juga keragaman perspektif dan pengetahuan yang dibawa ke dalam ilmu ekologi. Pengalaman lapangan bisa membangun rasa kebersamaan, memperkuat keterhubungan antara praktisi dan komunitas lokal, serta menciptakan ruang pembelajaran dua arah. Ini bukan hanya soal memasukkan lebih banyak orang ke dalam sistem, tapi juga tentang mengubah sistem itu sendiri, dengan menantang dominasi helicopter science dan memberdayakan peneliti serta masyarakat untuk menggali pengetahuan dan solusi dari wilayah mereka sendiri.

Apa yang Akan Hilang (dan Bisa Kita Dapatkan)

Ketika krisis iklim dan keanekaragaman hayati semakin parah, kita butuh semua alat dan teknologi yang kita miliki. Pemodelan statistik, satelit dengan berbagai macam sensornya akan berperan penting dalam memajukan ilmu pengetahuan dengan membuka akses terhadap data spasial berskala besar, mendeteksi perubahan ekosistem secara real-time, dan memprediksi tren jangka panjang. Namun teknologi bukanlah pengganti, melainkan pelengkap dari pengalaman langsung di alam. Karena hanya di lapangan kita belajar membaca lanskap secara utuh, menangkap nuansa interaksi ekologis, dan merasakan ritme hidup dari ekosistem yang kita pelajari. Sepatu penuh lumpur, gigitan nyamuk, dan jam-jam panjang mengamati dan mendengarkan suara hewan bukan sekadar romantisme; itu adalah bagian dari proses ilmiah yang membentuk pemahaman yang dalam dan kontekstual. Karena pada akhirnya, ekologi adalah ilmu tentang hubungan manusia dengan alam.

Jika kita ingin menginspirasi generasi berikutnya untuk peduli, melindungi, dan memulihkan alam, kita perlu membuat mereka jatuh cinta pada alam liar. Untuk mencintai, seseorang perlu mengenal, dan untuk mengenal, seseorang perlu mengalami secara langsung. Pengalaman di lapangan memungkinkan keterhubungan emosional, ketakjuban, dan rasa tanggung jawab yang tumbuh dari interaksi nyata dengan alam. Dan cinta seperti itu dimulai dari pengalaman yang otentik dan tak tergantikan di tengah alam itu sendiri.

Referensi

Miller, J., Ziter, C., & Koontz, M. (2020). Fieldwork in landscape ecology. http://dx.doi.org/10.32942/osf.io/h8gsq
Ríos-Saldaña, C. A., Delibes-Mateos, M., & Ferreira, C. C. (2018). Are fieldwork studies being relegated to second place in conservation science? Global Ecology and Conservation, 14, e00389. https://doi.org/10.1016/j.gecco.2018.e00389
Soga, M., & Gaston, K. J. (2025). Extinction of experience among ecologists. Trends in Ecology & Evolution, 40(3), 212–215. https://doi.org/10.1016/j.tree.2024.12.010
Tewksbury, J. J., Anderson, J. G. T., Bakker, J. D., Billo, T. J., Dunwiddie, P. W., Groom, M. J., Hampton, S. E., Herman, S. G., Levey, D. J., Machnicki, N. J., Rio, C. M. del, Power, M. E., Rowell, K., Salomon, A. K., Stacey, L., Trombulak, S. C., & Wheeler, T. A. (2014). Natural History’s Place in Science and Society. BioScience, 64(4), 300–310. https://doi.org/10.1093/biosci/biu032